Pages

Friday, July 9, 2010

Hala tuju Psikologi Islam



Bismillahiwa'ala barokatillahiwa'alarosulillah....

Dalam perspektif Al-quran (Islam), manusia adalah makhluk yg unik. Di satu sisi, ia disanjung sedemikian tinggi, bahkan melebihi ketinggian malaikat sebagai makhluk spiritual sampai mereka disuruh Tuhan untuk bersujud dan mengakui keunggulannya. Sedangkan di sisi yang lain, ia dicerca, direndahkan serta dihinakan, bahkan lebih hina dari binatang.
Karena keunikannya itu, berbagai disiplin ilmu pengetahuan tentang manusia kemudian lahir. Salah satu disiplin ilmu pengetahuan tersebut adalah psikologi iaitu ilmu yang melihat dan menempatkan manusia sebagai objek kajiannya, khususnya perilaku manusia. Bahkan, kerana keunikannya itu pula, mazhab-mazhab psikologi seperti Psikoanalisa, Behaviorisme, dan Humanisme antroposentris tidak mmpu memberikan jawapan tuntas tentang perilaku manusia. Masing-masing mazhab hanya mampu melihat manusia dari satu sisi pandangan saja.
Sebagai disiplin ilmu baru, Psikologi Islam lahir sebagai antitesis terhadap berbagai Madzhab Psikologi Barat moden. Dalam wataknya yang terbuka, saat ini, disiplin ilmu Psikologi Moden harus mere-definisi dirinya, sehingga Psikologi Islam mmpu menjadi salah satu alternatif yang dapat ditawarkan. Meskipun Psikologi Barat berfokus pada ego sebagai subjek dan objek yang menjadi landasan sentral fahaman hedonisme dan individualisme Barat, sedangkan Psikologi Islam mendasarkan pada spiritualisme, namun keduanya memiliki ' point ' dimana manusia sebagai objek kajiannya.

Jika kita amati, wilayah kajian Psikoanalisis dalam pengembangan Psikologi Islam memang yang paling menyolok, karena menyediakan perbedaan yang paling kontras dengan konsep Al-quran tentang manusia. Hampir setiap hal yang dikemukakan oleh psikoanalisis merupakan kembalikan dari apa yang menjadi konsepsi dasar Islam tentang manusia. Sementara psikoanalisis bukan aliran pemikiran yang dominan di dalam psikologi moden.
Dalam konsep Islam, tingkah laku adalah ekspresi jiwa manusia. Dari dulu manusia bertanya apa itu jiwa? Ilmu yang berbicara tentang jiwa antara lain; falsafah, tasawwuf, dan psikologi. Kalau Psikologi yang lahir di Barat dimensinya hanya bersifat horizontal kerana basic-nya sekular. Sedangkan dalam Islam jiwa dibahas dalam konteks hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan Tuhan.

Psikologi Barat Vs Islam
Dalam psikologi Barat, psikologi bekerja menghurai tentang tingkah laku, memprediksi dan kadang2 mengendalikan tingkah laku yang bersifat horizontal. Sementara dalam Islam yang diwakili ilmu akhlak dan tasawwuf --dua Ilmu yang berbicara tentang jiwa-- berbicara bagaimana mengubah tingkah laku menjadi baik dan bagaimana jiwa dekat dengan Tuhan. Jika Psikologi Barat berbicara tentang perilaku yang nampak (nyatanya), Psikologi Islam berbicara tentang manusia seutuhnya (ideal) dengan mengembangkan potensi-potensi kemanusiaan yang dimiliki.
Dalam tinjauan agak spesifik, Psikologi Barat sudah tidak lagi memadai untuk meneliti kejiwaan beragama seseorang, seperti kegagalannya memahami fenomena revolusi Islam Iran pada masa Khomaeni. Pada saat itu, kematian sebagai syahid menjadi dambaan setiap masyarakat Iran, sehingga lahirlah gagasan atau aliran the indigenous psikologi atau psikologi pribumi sebagai revisi terhadap kekeliruan psikologi Barat.
Perbedaan lain antara keduanya adalah pada ranah metodologi. Kalau Psikologi Barat adalah hasil renungan dan eksperimen labolatorium, sedangkan psikologi Islam, sumber informasi utamanya adalah Alquran, Hadis Nabi saw, filsawat dan tasawuf untuk kemudian dijadikan barometer penghayatan dan pengalaman kejiwaan, serta eksperimentasi labolatorium sebagai upaya verifikasi, falsifikasi dan perbandingan seperti yang dilakukan para psikolog Barat.
Karena itu, --paling tidak untuk sementara ini-- dibanding eksperimentasi labolatorium, ahli-ahli psikologi Islam lebih banyak mengutip dalil Alquran dan Hadis serta warisan-warisan (turats) klasik Islam. Ketika berbicara kecerdasan spiritual misalnya, psikologi Barat nampak kering. Tetapi psikologi Islam yang berbasis wahyu, kecerdasan spiritual itu dibahas sangat mendalam, luas dan indah. Kenapa? Karena dimensi spiritual merupakan wilayah agama.
Namun kita harus akui, meskipun baju Psikologi Barat nampak ada bolong di sana-sini, kiprahnya hingga kini tetap masih dominan dan populer. Karena kepopuleran dan kekokohan bangunan teorinya, sebagian besar psikolog berbasis psikologi Barat tidak mau mengakui kelahiran ”adik” barunya, Psikologi Islam. Bahkan oleh mereka, adik baru ini dianggap sebagai ”anak haram” yang tidak ilmiah. Sebagian mereka nampak tidak dewasa, cemburu, tidak suka dan khawatir keberadaan sang adik nanti akan melindas eksistensinya yang sudah mapan. Sebagian lagi nampak lebih dewasa, bahkan menaruh harapan baru pada sang adik, Psikologi Islam, yang baru lahir begitu didambakan oleh banyak orang. Mereka dengan gembira menyambut kehadirannya dan menerimanya sebagai anggota baru dari The big family of psychology. Sang adik diharapkan dapat menjadi mazhab pelengkap dan alternatif dari mazhab-mazhab psikologi yang ada sekarang, terutama pada tingkat psikologi terapan.
Maka, terlepas dari pro dan kontra kakak-kakaknya, Psikologi Barat sangat berjasa besar terhadap kelahiran Psikologi Islam. Tanpa Psikologi Barat, kelahiran Psikologi Islam pasti akan terus menjadi wacana, dan karena itu, ia tidak dapat berdiri sendiri. Jadi, sebesar apapun kelak Psikologi Islam eksis, secara historis, tidak akan pernah bisa lepas dari psikologi Barat. Ia datang sebagai alternatif dan pelengkap, bukan sebagai saingan atau lawan.
Namun, di tengah optimisme kelahiran Psikologi Islam sebagai disiplin keilmuan yang kokoh, kita patut merenungkan apa yang pernah dilontarkan oleh P. Huntington, Profesor di Harvard University, dalam bukunya “The Crash of Civilization”. Ia menyebutnya akan ada benturan antar peradaban dunia Islam dengan Barat. Ia meramalkan secara simplistis bahwa peta peradaban dunia akan berubah menjadi tiga sekte besar: Islam, Kristen dan Konfusianisme. Islam mewakili masyarakat dan pikiran kaum muslimin (yang sebagian di negara ketiga dan dunia belahan Timur) dan Kristen mewakili budaya dan masyarakat dunia Barat dan Eropa, serta Konfusianisme mewakili China, Jepang dan sejenis ajarannya.
Terlepas dari akan terbukti atau tidak hipotesis Huntington tersebut, para ilmuan, pemerhati dan peminat psikologi Islam patut mengantisipasi, bagaimana jika hal ini benar-benar terjadi? Setelah runtuhnya komunisme, maka musuh terbesar Barat diramalkan adalah Islam. Paling tidak, dunia Barat nampak berusaha mengarahkan perkembangan dunia ke arah prediksi P. Huntington, dan menganggap Islam --minimal Iran saat ini-- sebagai ancaman terbesar dunia Barat ke depan<>